Integrasi Papua Bukti Pengaruh Budaya Maritim
Jakarta - Integrasi Papua Bukti Pengaruh Budaya Maritim. Integrasi Papua bukan baru berlangsung pada 1 Mei 1963 melainkan sudah tertanam se...
https://forumberitajakarta.blogspot.com/2015/05/integrasi-papua-bukti-pengaruh-budaya.html
Jakarta -Integrasi Papua Bukti Pengaruh Budaya Maritim. Integrasi Papua bukan baru berlangsung pada 1 Mei 1963 melainkan sudah tertanam sejak ratusan tahun sebelumnya. Hal itu diperkuat oleh adanya kebudayaan maritim yang melekat pada suku-suku di Papua diantaranya suku Biak dan Serui. Sehingga praktis hubungan antropologis dan sosiologis antara orang-orang Papua dengan suku-suku di nusantara lainnya sudah melekat dan sangat erat.
Memang demikian filosofi laut di Indonesia yang merupakan pemersatu bukan pemisah sehingga ketika suatu daerah memiliki budaya maritim sudah pasti memiliki rasa persatuan yang tinggi. Di laut setiap orang saling membutuhkan dan bersaudara, yang akhirnya memunculkan suatu peradaban maritim yang saling kait mengkait menjadi suatu peradaban nasional.
Memang demikian filosofi laut di Indonesia yang merupakan pemersatu bukan pemisah sehingga ketika suatu daerah memiliki budaya maritim sudah pasti memiliki rasa persatuan yang tinggi. Di laut setiap orang saling membutuhkan dan bersaudara, yang akhirnya memunculkan suatu peradaban maritim yang saling kait mengkait menjadi suatu peradaban nasional.
Beberapa bukti adanya kebudayaan maritim suku Biak yang merupakan salah satu suku besar di Papua ialah adanya corak yang melekat dari beberapa bentuk kebudayaanya. Penduduk pantai, terutama yang dari Biak dan Yappen, terkenal sebagai pembuat perahu. Dari yang kecil untuk satu orang sampai kapal laut yang besar, yang memerlukan 40 orang awak kapal telah mampu dibuat oleh orang rang Biak dan Numfor sejak beberapa abad yang lalu.
Mereka telah mempelajari keahlian menempa logam dari Gebe atau Halmahera. Sejak itu mereka sering berkeliling pantai dan pulau-pulau sekitarnya sebagai pandai besi. Dengan cara ini mereka menjalin hubungan yang baik dengan penduduk pedalaman hingga mereka datang menetap di pesisir.
Sebagian besar mata pencaharian orang-orang ini sebagai nelayan, sehingga kelihaian melaut dan berlayar menjadi suatu yang mendarah daging. Dari pelayaran itu, munculah konsep pertahanan atau peperangan yang biasa digambarkan dalam tarian Mambri. Dalam konteks saat ini, pelayaran itu terbagi dalam beberapa bagian berdasarkan fungsinya yaitu, armada perikanan (nelayan), armada niaga dan armada tempur. Namun, tidak menutup kemungkinan satu perahu rombongan suku Biak saat berlayar sudah mencakup tiga fungsi tersebut.
Dari keadaan ini kadang-kadang timbul semacam posisi monopoli dari penduduk pesisir yang dominan itu. Anggota beberapa klan (Keret) dengan struktur patrilineal (garis silsilah mengikuti garis bapak) dan patrilokal (anak yang telah kawin tinggal di tempat bapak) tinggal di desa-desa di Pulau Biak yang dikepalai oleh salah seorang tetua. Bersama-sama dengan tetua-tetua lain mereka membentuk suatu dewan tetua (Kankein Kakara).
Setiap keturunan klan mempunyai perahunya sendiri dan dengan perahu itu mereka membuat perjalanan-perjalanan laut yang jauh serta dapat menaikkan wibawa masing-masing orang Biak dan Numfor. Dahulu mereka melakukan pelayaran-pelayaran sampai jauh ke pulau-pulau Maluku, bahkan Gorontalo (Sulawesi Utara), Timor, Seram, Nusa Laut, Buru dan Salayar. Sedangkan untuk ke timur, pelayaran mula-mula membentang sampai ke pulau-pulau Arimoa dan Kumamba, kemudian hari sampai ke Teluk Humboldt di perairan Pasifik.
Dari adanya perkawinan-perkawinan antar klan itu maka pengaruh suku Biak yang gemar melaut itu semakin luas. Budaya maritim sangat kental sekali dalam nuansa kehidupan orang Biak itu menjadi tolok ukur dari status seseorang atau klan. Pelayaran yang identik kemudian dengan pertempuran telah melahirkan orang-orang yang ahli dalam peperangan.
Disini terlihat adanya karakter pelaut yang cenderung menjadi bangsa petarung karena biasa menembus ombak dan menghadapi gangguan-gangguan di laut seperti perompakan serta pembajakan. Kemudian sisi lain yang didapat dari karakter itu ialah kecenderungan menerima hal-hal baru saat bersentuhan atau berinteraksi dengan pelaut-pelaut lain yang berbeda suku. Sehingga proses peradaban, informasi, dan teknologi cenderung lebih cepat ketimbang suku pedalaman.
Pemimpin atau panglima perang dalam bahasa Biak disebut Mambri. Seorang Mambri sangat dihormati dalam strata masyarakat Biak. Biasanya, seorang Mambri memiliki peluang besar untuk menjadi Mananuir (kepala suku).
Ada panglima angkatan laut legendaris Tidore berasal dari Biak yang bernama Gurabesi, atau ada yang menyebutnya Kurabesi. Pada tahun 1649, waktu VOC sedang berperang dengan Tidore, datanglah suatu armada yang terdiri dari 24 perahu ke Tidore dengan membawa bahan makanan. Kapal-kapal kecil itu datang dari kepulauan Irian untuk membantu raja Tidore, di bawah pimpinan Gurabesi. sebelum berlayar ke Tidore, Gurabesi dan pasukannya singgah di Pulau Waigeo, Raja Ampat. Setelah bertahun-tahun menetap di Pulau ini, dan membangun pangkalan angkatan laut yang kuat, Gurabesi memimpin daerah ini dengan perkasa. Ia juga menjadikan Kepulauan Raja Ampat sampai Seram sebagai jalur perniagaan yang strategis.
Atas kegemilangannya memimpin pertempuran laut, Gurabesi kemudian diangkat menjadi panglima perang angkatan laut Kesultanan Tidore, atau saat ini setara dengan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal). Selain penghargaan berupa penobatan menjadi panglima angkatan laut, sebagai imbalannya Sultan Tidore mengizinkan anak perempuannya, Boki Tabai, menjadi istri Gurabesi. Konon, nama Papua juga pemberian dari Sultan Tidore untuk memanggil sebutan nama dari Gurabesi dengan sebutan ‘papa ua’. Sebab, dari 360 suku yang ada di Papua saat ini tak ditemukan suku kata ‘papua’ itu dalam bahasa mereka. Papua berasal kata ‘papa ua’, yang artinya ‘tiada-papa’ dalam bahasa daerah Ternate.
Sebelum Gurabesi bersama istrinya berangkat kembali ke Raja Ampat, Sultan Tidore memberi mandat kepada Gurabesi untuk menjadi raja di Kepulauan Raja Ampat dan berpesan kepadanya bahwa kerajaan Tidore akan memberikan dukungan bantuan kepada Gurabesi untuk mendirikan kekuasannya. Selain itu, kerajaan Gurabesi harus tetap menjadi sekutu Tidore.
Dari perjalanan sejarah itu, orang-orang Biak Numfor yang gemar berlayar dan melakukan perpindahan tempat tinggal menyebabkan terjadinya proses akulturasi dan asimilasi budaya pada seluruh suku-suku di Papua semakin kuat hingga mengarah pada suatu integrasi nasional saat berhubungan dengan suku-suku di nusantara lainnya. Integrasi itu yang menjadi suatu bangsa atau ‘nation’ yang besar dan tidak tersekat dengan warna kulit (ras). Itulah bangsa Indonesia yang mebentang dari ujung Sumatera hingga Papua.
Begitu pun dalam perjuangan mengembalikan Papua kepada pangkuan ibu pertiwi, yang prosesnya telah dimulai kurun waktu 1945-1963, tokoh-tokoh dari suku-suku pelaut di Papua menjadi pelopor penting dalam upaya itu. Sebut saja Frans Kaisiepo, Silas Papare, NK Suwakil, Abraham Dimara dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh penting dalam upaya pengembalian tersebut.
Dari uraian tersebut terdapat pameo “Selama Laut Belum Berpisah, NKRI tak akan Pecah” mengingat begitu kuatnya pengaruh karakter maritim bagi proses persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 bahwa laut sebagai pemersatu bukan pemisah. Hidayat Nur/JakartaForum
Mereka telah mempelajari keahlian menempa logam dari Gebe atau Halmahera. Sejak itu mereka sering berkeliling pantai dan pulau-pulau sekitarnya sebagai pandai besi. Dengan cara ini mereka menjalin hubungan yang baik dengan penduduk pedalaman hingga mereka datang menetap di pesisir.
Sebagian besar mata pencaharian orang-orang ini sebagai nelayan, sehingga kelihaian melaut dan berlayar menjadi suatu yang mendarah daging. Dari pelayaran itu, munculah konsep pertahanan atau peperangan yang biasa digambarkan dalam tarian Mambri. Dalam konteks saat ini, pelayaran itu terbagi dalam beberapa bagian berdasarkan fungsinya yaitu, armada perikanan (nelayan), armada niaga dan armada tempur. Namun, tidak menutup kemungkinan satu perahu rombongan suku Biak saat berlayar sudah mencakup tiga fungsi tersebut.
Dari keadaan ini kadang-kadang timbul semacam posisi monopoli dari penduduk pesisir yang dominan itu. Anggota beberapa klan (Keret) dengan struktur patrilineal (garis silsilah mengikuti garis bapak) dan patrilokal (anak yang telah kawin tinggal di tempat bapak) tinggal di desa-desa di Pulau Biak yang dikepalai oleh salah seorang tetua. Bersama-sama dengan tetua-tetua lain mereka membentuk suatu dewan tetua (Kankein Kakara).
Setiap keturunan klan mempunyai perahunya sendiri dan dengan perahu itu mereka membuat perjalanan-perjalanan laut yang jauh serta dapat menaikkan wibawa masing-masing orang Biak dan Numfor. Dahulu mereka melakukan pelayaran-pelayaran sampai jauh ke pulau-pulau Maluku, bahkan Gorontalo (Sulawesi Utara), Timor, Seram, Nusa Laut, Buru dan Salayar. Sedangkan untuk ke timur, pelayaran mula-mula membentang sampai ke pulau-pulau Arimoa dan Kumamba, kemudian hari sampai ke Teluk Humboldt di perairan Pasifik.
Dari adanya perkawinan-perkawinan antar klan itu maka pengaruh suku Biak yang gemar melaut itu semakin luas. Budaya maritim sangat kental sekali dalam nuansa kehidupan orang Biak itu menjadi tolok ukur dari status seseorang atau klan. Pelayaran yang identik kemudian dengan pertempuran telah melahirkan orang-orang yang ahli dalam peperangan.
Disini terlihat adanya karakter pelaut yang cenderung menjadi bangsa petarung karena biasa menembus ombak dan menghadapi gangguan-gangguan di laut seperti perompakan serta pembajakan. Kemudian sisi lain yang didapat dari karakter itu ialah kecenderungan menerima hal-hal baru saat bersentuhan atau berinteraksi dengan pelaut-pelaut lain yang berbeda suku. Sehingga proses peradaban, informasi, dan teknologi cenderung lebih cepat ketimbang suku pedalaman.
Pemimpin atau panglima perang dalam bahasa Biak disebut Mambri. Seorang Mambri sangat dihormati dalam strata masyarakat Biak. Biasanya, seorang Mambri memiliki peluang besar untuk menjadi Mananuir (kepala suku).
Ada panglima angkatan laut legendaris Tidore berasal dari Biak yang bernama Gurabesi, atau ada yang menyebutnya Kurabesi. Pada tahun 1649, waktu VOC sedang berperang dengan Tidore, datanglah suatu armada yang terdiri dari 24 perahu ke Tidore dengan membawa bahan makanan. Kapal-kapal kecil itu datang dari kepulauan Irian untuk membantu raja Tidore, di bawah pimpinan Gurabesi. sebelum berlayar ke Tidore, Gurabesi dan pasukannya singgah di Pulau Waigeo, Raja Ampat. Setelah bertahun-tahun menetap di Pulau ini, dan membangun pangkalan angkatan laut yang kuat, Gurabesi memimpin daerah ini dengan perkasa. Ia juga menjadikan Kepulauan Raja Ampat sampai Seram sebagai jalur perniagaan yang strategis.
Atas kegemilangannya memimpin pertempuran laut, Gurabesi kemudian diangkat menjadi panglima perang angkatan laut Kesultanan Tidore, atau saat ini setara dengan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal). Selain penghargaan berupa penobatan menjadi panglima angkatan laut, sebagai imbalannya Sultan Tidore mengizinkan anak perempuannya, Boki Tabai, menjadi istri Gurabesi. Konon, nama Papua juga pemberian dari Sultan Tidore untuk memanggil sebutan nama dari Gurabesi dengan sebutan ‘papa ua’. Sebab, dari 360 suku yang ada di Papua saat ini tak ditemukan suku kata ‘papua’ itu dalam bahasa mereka. Papua berasal kata ‘papa ua’, yang artinya ‘tiada-papa’ dalam bahasa daerah Ternate.
Sebelum Gurabesi bersama istrinya berangkat kembali ke Raja Ampat, Sultan Tidore memberi mandat kepada Gurabesi untuk menjadi raja di Kepulauan Raja Ampat dan berpesan kepadanya bahwa kerajaan Tidore akan memberikan dukungan bantuan kepada Gurabesi untuk mendirikan kekuasannya. Selain itu, kerajaan Gurabesi harus tetap menjadi sekutu Tidore.
Dari perjalanan sejarah itu, orang-orang Biak Numfor yang gemar berlayar dan melakukan perpindahan tempat tinggal menyebabkan terjadinya proses akulturasi dan asimilasi budaya pada seluruh suku-suku di Papua semakin kuat hingga mengarah pada suatu integrasi nasional saat berhubungan dengan suku-suku di nusantara lainnya. Integrasi itu yang menjadi suatu bangsa atau ‘nation’ yang besar dan tidak tersekat dengan warna kulit (ras). Itulah bangsa Indonesia yang mebentang dari ujung Sumatera hingga Papua.
Begitu pun dalam perjuangan mengembalikan Papua kepada pangkuan ibu pertiwi, yang prosesnya telah dimulai kurun waktu 1945-1963, tokoh-tokoh dari suku-suku pelaut di Papua menjadi pelopor penting dalam upaya itu. Sebut saja Frans Kaisiepo, Silas Papare, NK Suwakil, Abraham Dimara dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh penting dalam upaya pengembalian tersebut.
Dari uraian tersebut terdapat pameo “Selama Laut Belum Berpisah, NKRI tak akan Pecah” mengingat begitu kuatnya pengaruh karakter maritim bagi proses persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 bahwa laut sebagai pemersatu bukan pemisah. Hidayat Nur/JakartaForum